Sejarah
Sejarah Singkat Perjuangan Kiai Syarqawi
Oleh : Ahmad Irfan bin Abdul Adhim Khalid (R626)Kiai Muhammad Syarqawi dilahirkan di Kota Kudus, Jawa Tengah, pada sekitar tahun 1250 Hijriah, tepatnya di Kelurahan Kauman, ±387 meter ke arah utara Masjid Menara Kudus. Ayah beliau bernama Sudikromo dan Ibunya bernama Kamilah. Tidak banyak riwayat yang menceritakan kisah hidup orang tua dan leluhurnya. Kecuali itu, Huub de Jonge, penulis asal Belanda dalam buku Madura dalam Empat Zaman, hanya sedikit menjelaskan siapa sesungguhnya Kiai Syarqawi itu. Kiai Shidiq Romo, ayah Kiai Syarqawi, dan Kiai Kanjeng Sinuwun, kakeknya, demikian Jonge menjelaskan, merupakan ulama terkemuka yang pengaruhnya meluas di sekitar kota Kudus.
Menurut penuturan keluarga Kudus, rumah Kiai Syarqawi yang pertama bertempat –saat ini– Jl. KH. Ahmad Dahlan, Kudus. Namun, petak tanah dan rumah beliau telah dijual sejak semasa hidupnya dan saat ini telah berdiri bangunan rumah warga. Sebagaimana rumah adat Kudus yang terbuat dari ukiran kayu dan papan, bangungan rumah Kiai Syarqawi dipindah tempat ±200 meter ke arah barat daya tepatnya di Kelurahan Kerjasan dan ditempati puteranya, Kiai As'ad (N) dan saat ini berganti ditempati cucunya, yaitu Kiai Maskan (N32).
Sebelum Kiai Syarqawi menetap di Madura, beliau pernah menuntut ilmu di tanah Hijaz dan beberapa tempat lain di Nusantara.
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiu5e7I_YejdKN1UMXXJZ9CmB2dKqdMEVlX4laJsd5g7JHblrJIETQu4c4aNJW8YRx-QY48D6iASOUEE-VFtHhkEGk8DxPGXn0Drwf83eKH7uhDkOjpjF-I9dnLWTRtWz9Wq2-wwgC_TDM/s400/New+Picture.png)
Gb. 1. Kediaman Kiai As'ad yang bangunan rumahnya dari bekas bangunan kediaman Kiai Syarqawi
Dikisahkan, sewaktu Kiai Syarqawi sedang dalam pelayaran menuju tanah suci, beliau bertemu dengan seorang saudagar kaya dari desa Prenduan —sebuah desa kecil di pesisir selatan, barat daya dari Kota Sumenep— yang namanya sangat terkenal pada awal pertengahan abad ke-19. Dialah Syaikh Abuddin alias Kiai Gemma. Beliau adalah pedagang palawija yang dikenal sebagai niagawan sandang pangan. Kekayaannya termasyhur hingga ke luar pulau. Selain saudagar, Kiai Gemma juga terkenal sebagai seorang dermawan yang suka belajar dan mengamalkan ajaran agamanya. Masjid Jamik desa Prenduan adalah murni dari amal jariyah beliau. Dibangun di atas tanah beliau sendiri, dan seluruh biayanya ditanggung beliau sendiri. Kini, masjid tersebut dikenal dengan Masjid Gemma, Prenduan.
Dalam pelayaran itu, Kiai Syarqawi bertujuan menunaikan ibadah haji sekaligus menimba ilmu di tanah suci, sedangkan Kiai Gemma bertujuan menunaikan ibadah haji bersama istri mudanya bernama Nyai Khadijah, dan pengawalnya dari Madura. Saat itu, usia Kiai Gemma sudah sepuh. Konon ibadah haji yang ditunaikan itu merupakan mahar pernikahan Kiai Gemma kepada Nyai Khadijah.
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiTIJ3Us-PZ-Qqdbnc1PmkNBtJMj6eEa-AlEClXXE3kQWshvGFOhWsMmQRPjLifR2LOtlbnrGA1c8ZLyXJmsTPQTvTOQ8W6W65REG09H6Y-hsnOhFnf3Jc8dLTR6DfGXne8x9FaEwbAamM/s400/New+Picture+(1).png)
Gb. 1. Masjid Gemma Prenduan periode ketiga setelah direhab oleh KH. A. Djauhari Chotib - (Dok. Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan)
Dalam pelayaran tersebut, Kiai Gemma jatuh sakit. Beliau dirawat oleh isteri dan pengawal beliau. Kala itu Kiai Syarqawi juga ikut serta merawat Kiai Gemma, sehingga persahabatan beliau berdua senantiasa terjalin dengan baik. Kiai Gemma menemukan apa yang selama ini beliau cari pada sosok Kiai Syarqawi, yaitu memperdalam ilmu agama. Sedangkan pada Kiai Gemma, Kiai Syarqawi banyak menimba pengalaman hidup.
Sesampainya di tanah suci, suatu saat Kiai Gemma merasa dirinya tidak lama lagi akan berpulang (wafat) ke hadirat Allah swt. Beliau berwasiat kepada Kiai Syarqawi agar nantinya jika Kiai Gemma meninggal dunia, Kiai Syarqawi sudi memperisteri Nyai Khadijah yang masih muda dan baru dinikahinya itu. Beliau juga berwasiat kepada pengawalnya agar nanti sesampainya di tanah air, Kiai Syarqawi dan Nyai Khadiajah dibuatkan sebuah rumah.
Tidak lama kemudian, Kiai Gemma pun wafat di tanah suci dan dikebumikan di pekuburan Ma'la. Kemudian Kiai Syarqawi melaksanakan wasiat tersebut. Demikianlah, Kiai Syarqawi menikahi janda Kiai Gemma, Nyai Khadijah.
Kiai Syarqawi dan Nyai Khadijah pulang ke tanah air dan menetap bersama di rumah yang dibangun atas perintah Kiai Gemma kepada pengawalnya, tepatnya di kampung Pesisir. Sejak awal kedatangannya di Prenduan, beliau tidak betah dengan kondisi lingkungan sekitar yang kala itu sudah cukup ramai dan padat dengan mayoritas masyarakat nelayan dan pedagang. Selain itu, mungkin juga disebabkan perbedaan adat istiadat Madura dan Jawa. Sejak itu juga Kiai Syarqawi berhasrat untuk hijrah ke tempat yang lebih bersahabat, namun keadaan belum mengizinkan.
Di rumah ini, Kiai Syarqawi mulai melaksanakan tugas-tugas pendidikan dan pengajaran serta dakwah bersama nyai Khadijah. Secara bertahap, penduduk desa Prenduan merasakan manfaat dan nikmat kedatangan seorang ulama dari Kudus itu. Sedikit demi sedikit banyak juga orang tua yang mengantarkan putra-putinya untuk mengaji kepada Nyai Khadijah, bahkan ada juga yang nyantri dan mondok di sana. Mereka adalah: Nyai Subati, Nyai Bani, Nyai Munirah, Nyai Na, Kiai Abdul Qohir (lima bersaudara, putera Kiai Bahauddin), Kiai Bahauddin (kakek dari Kiai Muqri), Kiai Faqih (sepupu dari Nyai Bani), Kiai Fathullah (yang kelak menjadi suami Nyai Shalihah binti Syarqawi), dan putra-putri beliau sendiri.
Berita tentang kedatangan seorang ulama dari kudus ke Prenduan itu terdengar pula oleh Kiai Idris di dusun Patapan, desa Guluk-Guluk. Syahdan, beliau berkunjung ke Prenduan untuk memondokkan empat putra-putrinya untuk mengaji dan belajar kepada Kiai Syarqawi di Prenduan. Mereka adalah Kiai Chotib (putra sulungnya, yang kelak menjadi cikal bakal pendiri Pesantren Al-Amien Prenduan), Kiai Hafidzuddin (cikal bakal pendiri Pesantren Hidayatut Thalibin Lembung), Nyai Nursiti (yang kelak dinikahi Kiai Imam dan mendirikan pesantren di Karay), dan Nyai Mariyah (putri keempatnya, yang kelak menjadi isteri ketiga Kiai Syarqawi) dengan harapan mereka dapat menyerap sebanyak-banyaknya ilmu yang dimiliki Kiai Syarqawi yang alim dan wira'i itu. Sejak itulah Kiai Idris sering mendatangi Kiai Syarqawi untuk menjalin ukhuwah sambil menyerap ilmu dan mempererat tali persaudaraan.
Di desa Prenduan, Kiai Syarqawi membuka pengajian Al-Qur'an dan majelis ilmu keislaman, seperti pengajian kitab untuk masyarakat umum. Selain dari keluarga dan kerabat dekat isterinya, banyak juga anggota masyarakat Prenduan maupun dari desa tetangga sekitar yang mengikuti pengajian kepada beliau, diantaranya Kiai Imam bin Mahmud dari desa Aengpanas (cikal-bakal pendiri Pesantren Al-Karawi, desa Ketawang Karay, Ganding), Kiai Sama'uddin bin Harun dari dusun Arongan (Pesantren Al-Muhibbah, desa Daleman, Ganding), dan lain-lain.
Selama tinggal di Prenduan, Kiai Syarqawi sering pulang ke Kudus, selain karena tidak betah dengan kondisi lingkungan desa Prenduan, juga untuk menjenguk keluarga beliau di tanah kelahirannya itu. Melihat keadaan seperti itu, Nyai Khadijah menyarankan agar semua keluarganya yang tinggal di Kudus beliau bawa ke Sumenep saja supaya tidak perlu lagi mondar-mandir Madura-Kudus. Akhirnya Kiai Syarqawi membawa Ibunda beliau, Nyai Kamilah, dan Ibunda beliau tinggal bersama puteri pertamanya, Nyai Shalihah di Prenduan hingga wafat dan dikebumikan di komplek pemakaman Malaka, desa Prenduan.
Di saat Kiai Syarqawi sering pulang ke Kudus untuk menjenguk keluarganya, karena alat transportasi tempo itu masih relatif sulit dan membutuhkan waktu lama dalam perjalanan, Kiai Syarqawi sempat menikah dengan dua orang wanita di Kudus, bernama Nyai Sabina dan dikaruniai seorang putera bernama As'ad. Kiai Syarqawi juga menikah dengan Nyai Hirzin, dan hanya memiliki satu putra bernama Sa'id namun meninggal ketika masih kecil. Konon, salah satu dari kedua isterinya yang di Kudus, adalah janda dari saudara Kiai Syarqawi yang bernama Kiai Safawi.
Gb. 3. Tampak keluarga Nyai Shalihah Syarqawi sedang berada di depan rumah perjuangan Kiai Syarqawi & Nyai Khadijah di kampung Pesisir, desa Prenduan - (Dok. Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan)
Di Prenduan, Kiai Syarqawi membina rumah tangga dengan Nyai Khadijah hingga beliau dikarunai putari-puteri: Nyai Shalihah, Nyai Zubaidah, Nyai Jauharatun Naqiyah, Kiai Bukhari, dan Kiai Idris. Sejak Kiai Syarqawi memiliki putra Kiai Bukhari, hasrat beliau untuk berhijrah ke luar Prenduan semakin kuat, karena khawatir akan putra laki-laki pertamanya itu tidak fokus dalam menjalani didikan Kiai Syarqawi.
Kiai Syarqawi memutuskan untuk hijrah ke suatu tempat yang beliau anggap lebih bersahabat untuk meneruskan perjuangannya membina umat yang berilmu. Setelah Kiai Syarqawi berkeliling mencari-cari tempat yang cocok di sekitar Kabupaten-Sumenep, akhirnya dipilihlah sebuah desa bernama Guluk-Guluk, sekitar 7 km ke arah utara dari desa Prenduan. Diceritakan bahwa Kiai Syarqawi mencari tempat hijrah dengan berkeliling di wilayah Kabupaten Sumenep. Konon, disaat masa-masa pencarian, beliau sempat berencana tinggal di daerah Prancak, Pasongsongan namun ditakdirkan di Guluk-Guluk.
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjz-nwm4hANcu8hmFbm51ox8Pwsd-_VmRHYO_r_gYoCQeHifkqN5t9AGLo7WchPlmnk0uxCl8ubeeQtpsHWAnITBCaW-ddSL25tkn6l5KefHHxG2ji1Ec7Mg7zssCzVFX9Ot87TeDjv35Q/s400/New+Picture+%25283%2529.png)
Gb. 4. Makam Nyai Kamilah (Ibunda K.H. M. Syarqawi) di komplek Pemakaman Malaka, Prenduan.
Sebelum hijrah ke Guluk-Guluk, beliau disarankan untuk menikah lagi oleh Nyai Khadijah. Kiai Syarqawi menerima saran dari istrinya itu. Nyai Khadijah menawarkan seorang calon dari salah seorang santrinya sendiri yang berasal dari dusun Patapan, desa Guluk-Guluk. Perawan itu bernama Nyai Mariyah binti Idris. Selain itu, Nyai Khadijah juga mengusahakan pernikahan Kiai Chotib dengan santrinya yang berasal dari Prenduan, yaitu Nyai Bani alias Siti Aisyah.
Nyai Mariyah adalah adik dari Kiai Muhammad Chotib Idris yang merupakan santri Kiai Syarqawi. Kelak Nyai Khadijah dijuluki Nyai Toan dan Nyai Mariyah dijuluki Nyai Seppo.
Kelihatannya adalah hal yang aneh kalau ada seorang istri yang justru memprakarsai pernikahan suaminya dengan orang lain. Bagi mereka yang tidak tahu latar belakang Kiai Syarqawi mempersunting Nyai Mariyah, tentu mereka akan mempunyai anggapan bahwa pernikahan itu adalah kehendak Kiai Syarqawi sendiri, bukan atas usul Nyai Khadijah karena hal itu adalah peristiwa yang jarang terjadi. Akan tetapi, peristiwa itu benar-benar terjadi. Dan prakarsa Nyai Khadijah ini merupakan salah satu perkecualian yang dimaksud.
Nyatanya, apa yang dilakukan oleh Nyai Khadijah ini memiliki maksud tertentu. Ini adalah strategi yang cukup jitu. Dari Pernikahan Kiai Syarqawi dengan Nyai Mariyah diharapkan dapat melahirkan generasi-generasi ulama' pewaris nabi lebih banyak lagi. Sedangkan dari pernikahan Kiai Chotib dengan Nyai Bani diharapkan adanya generasi pengganti di Prenduan setelah ditinggalkan oleh kiai Syarqawi ke Guluk-Guluk, dan kenyataannya memang benar, Kiai Chotib menjadi pengganti Kiai Syarqawi hingga beliau mendirikan pesanten Tegal Al-Amien.
Atas usaha dan bantuan mertua beliau (Kiai Idris Patapan), Kiai Syarqawi mendapatkan sebidang tanah dan bahan bangunan bekas kandang kuda yang nantinya beliau ubah menjadi sebuah langgar dari seorang dermawan ayah dari Abdurrahman alias H. Abdul Aziz, yaitu Ki Arbidin bin Muhammad dari desa Patapan yang rumahnya berdekatan dengan Kiai Idris. H. Abdul Aziz menikah dengan Nyi Sukorammi yang berasal dari Sumenep dan dikarunai putera-puteri; Siti Aminah (isteri H. Rifa'i), Abdullah alias H. Basjuni (suami Nyi Rodhiyah), dan Nyi Munira (isteri H. Arsyad). Silsilah Keluarga H. Abdul Aziz kami tulis di sini tidak lain untuk tidak melupakan jasa beliau kepada Keluarga Bani Syarqawi.
Kemudian, dari bekas kandang kuda, beliau membangun sebuah langgar dan di atas petak tanah itu Kiai Syarqawi membangun rumah. Tempat tersebut dikenal dengan nama Dalem Tenga. Langgar Kiai Syarqawi yang pertama ini terletak di depan Masjid Jamik Annuqayah, sebelah timur jalan. Masih tersisa bekas peninggalan beliau berupa sebuah sumur. Sedangkan rumah beliau berlokasi di areal maqbarah tertua di Annuqayah.
Rumah Kiai Syarqawi berdinding gedek, beratap rumbia dan konon, tiang-tiang rumah Kiai Syarqawi terbuat dari pohon kayu jaran, (pohon palimbang; Bahasa Madura). Pohon ini dapat mudah tumbuh di berbagai jenis tanah. Filosofinya adalah bahwa keluarga Kiai Syarqawi juga diharapkan dapat tumbuh dan berkembang di berbagai wilayah dan berbagai bidang.
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEii4AwH3MjmhcbkVjNdep3U2D8dI8IDwC2GSdBQ1kgDyFrzD33Aq1orn4zrYUYYbldcjJWEMPZ2zXN47WqNZkN-dWEQt8OQ4nbEqaC5z-eHqCpPQ74WEpy5GDDb8ABTFmWaSpTLAPf8ykM/s400/New+Picture+%25284%2529.png)
Gb. 5. Masjid Jamik Annuqayah saat ini. Tampak sumur peninggalan K.H. M. Syarqawi
Sejak Kiai Syarqawi bermukim di Guluk-Guluk, banyak anggota masyarakat sekitar berdatangan ke tempat beliau untuk belajar agama, meminta fatwa ataupun memohon saran tentang persoalan-persoalan kemasyarakatan lainnya. Pada mulanya, Kiai Syarqawi mengajar masyarakat sekitar dengan pelajaran membaca Al-Quran serta dasar-dasar pengetahuan keislaman di langgar yang beliau dirikan. Hingga di kemudian hari, tempat pengajaran itu berkembang dengan tinggalnya beberapa santri bersama beliau yang akhirnya menjadi cikal bakal berdirinya Pondok Pesantren Annuqayah.
Pernikahan antara Kiai Syarqawi dengan Nyai Mariyah dikaruniai putera-puteri, mereka adalah Kiai Muhammad Yasin (wafat kecil/sebelum memiliki keturunan), Kiai Muhammad Ilyas, Kiai Abdullah Siraj, Kiai Abdullah Sajjad, Kiai Abdul Malik (wafat kecil/sebelum memiliki keturunan), Nyai 'Aisyah, dan Nyai Na’imah (wafat kecil/sebelum memiliki keturunan).
Masih ada dua pernikahan lagi setelah Kiai Syarqawi memperistri Nyai Mariyah, yaitu pernikahannya dengan Nyai Sarbati dan Nyai Nurani. Akan tetapi, pernikahan Kiai Syarqawi ini dilandasi oleh dasar dan alasan tertentu. Sekali lagi perlu dicatat bahwa semua pernikahan Kiai Syarqawi adalah atas dasar prakarsa dan saran dari Nyai Khadijah.
Dengan alasan untuk menjaga hubungan mahram antara Kiai Syarqawi dengan santrinya yang membantu rumah tangga beliau, Kiai Syarqawi kemudian menikah lagi dengan Nyai Sarbati, santrinya yang berasal dari desa Aengpanas. Dari pernikahan dengan Nyai Sarbati ini belaiu dikaruniai dua orang puteri, yaitu Nyai Hamidah dan Nyai Halimatus Sa'diyah. Adapun pernikahan Kiai Syarqawi dengan Nyai Nurani hanya dikaruniai satu orang puteri. Sayangnya, putri yang sempat diberi nama Aminah ini wafat saat masih kecil.
Jika alasan pernikahan Kiai Syarqawi dengan Nyai Sarbati dilandasi oleh alasan mahram, pernikahan beliau dengan Nyai Nurani tergolong memiliki alasan yang unik. Pada suatu waktu, Kiai Syarqawi menghadiri sebuah upacara pernikahan Nyai Nurani dengan seorang mempelai pria. Saat itu, Kiai Syarqawi diundang untuk menikahkan kedua mempelai. Namun, saat itu, mempelai pria tidak datang. Kabar yang tersiar, mempelai pria tidak menghendaki pernikahan dan dia memilih untuk melarikan diri. Tentu, tuan rumah pun menanggung malu karena para undangan sudah hadir di acara tersebut. Disebabkan oleh alasan prihatin, juga atas saran Nyai Khadijah, akhirnya Kiai Syarqawi menjadi mempelai prianya. Kiai Syarqawi pun mempersunting Nyai Nurani. Acara pernikahan pun tetap berlangsung (beberapa tahun setelah Kiai Syarqawi mangkat, Nyai Nurani kemudian dipersunting untuk yang kedua kalinya oleh Kiai Syamsul Arifin dan tinggal di Sukorejo, Sutubondo).
Pada waktu tengah hari Sabtu, 10 Muharram Tahun Ra' 1329 H, bertepatan dengan sekitar 15 Januari 1911, Kiai Syarqawi dipanggil ke hadirat Yang Maha Kuasa. Hari itu, terjadi hujan sangat deras dan berlangsung begitu lama. Cuaca seperti ini menjadi sebab tidak memungkinkannya untuk menggali kuburan. Pada akhirnya, beliau dikebumikan di dalam dhalem (rumah) beliau sendiri yang saat ini menjadi komplek maqbarah Kiai Syarqawi dan beberapa keluarganya.
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjsnUH2zUq9FiW3s_GoCWjyqF8BKYhhSSh_RL4-BS4AKLzc4QC8UduhULBMzVT5bAfACLgM9J_K3hC9ooqku7LVCbX2x5G8X4I9AAeXCvpmITZ40gAZpMC8SAM6m4mK0A8H3LEmOAXNfSI/s400/New+Picture+%25285%2529.png)
Gb. 6. Maqbarah K.H. M. Syarqawi (Rahimahullah)
Demikianlah, kisah perjuangan singkat Kiai Syarqawi. Semoga Allah menerima amal baiknya, mengasihinya, mengampuninya, dan meninggikan darjatnya di syurga, dan memberi kita manfaat darinya, rahasia-rahasianya, cahaya, ilmu, dan berkatnya di dalam agama, dunia dan akhirat. Amin.
Wallahu A'lam Bisshawab
Nama almarhumadalah KH. MUHAMMAD ASSYARQOWI BIN SODIQ ROMO AL QUDUSI. Bukan Moh. Syarqowi. Hal ini diketahui dari manuskrip karya almarhum "AL I'LAL"
BalasHapusNama almarhumadalah KH. MUHAMMAD ASSYARQOWI BIN SODIQ ROMO AL QUDUSI. Bukan Moh. Syarqowi. Hal ini diketahui dari manuskrip karya almarhum "AL I'LAL"
BalasHapusSaya mau tanya... apa di madura ada kiai dari kudus yang menyebarkan islam d madura dan kemudian menikah dengan orang madura. Kalau tidak salah asli beliau dari jepara.
BalasHapusKalau yang ditulis di blog ini beliau adalah Kiai Syarqawi dari Kudus dan menikah dengan orang Madura saat beliau masih di Makkah.
HapusJazallahu Muhammadan maa huwa ahluh
BalasHapus